1.1 Latar Belakang
Peristiwa
kelahiran itu bukan hanya merupakan proses yang fisiologis belaka,
akan tetapi banyak pula diwarnai komponen-komponen psikologis. Jika seandainya
kelahiran itu cuma fisiologis saja sifatnya, dan kondisi organisnya juga
normal, maka pasti proses berlangsungnya akan sama saja di mana-mana dan pada
setiap wanita, serta tidak akan mempunyai banyak variasi. Sedang pada
kenyataannya, aktivitas melahirkan bayi ini cukup bervariasi. Dari yang amat
mudah dan lancar sampai pada yang sangat sukar, baik itu normal maupun abnormal
dengan operasi SC dan lain-lain. Orang menyebutkan beberapa faktor penyebab
dari mudah sulitnya aktifitas melahirkan bayi, antara lain ialah :
a. Perbedaan iklim
dan lingkungan sosial, yang mempengaruhi fungsi-fungsi kelenjar endokrin. Dan
kelenjar endokrin ini sangat penting fungsinya pada saat melahirkan bayi.
b. Cara hidup yang
baik atau cara hidup yang yang sangat ceroboh dari wanita yang bersangkutan,
sebab cara hidup tersebut terutama cara hidup sexualnya mempengaruhi kondisi
rahim dan organ genitalnya.
c. Kondisi
otot-otot panggul wanita.
d. Kondisi
psikis/kejiwaan wanita yang bersangkutan.
Orang mendapatkan kesan, bahwa sekalipun kini
terdapat banyak kemajuan di bidang kebidanan dan kedokteran untuk meringankan
proses partus, namun kehidupan psikis wanita yang tengah melahirkan bayinya itu
sejak zaman purba hingga masa modern sekarang masih saja banyak diliputi oleh
macam-macam ketakutan dan ketakhayulan. Oleh karena itu,
akan mempengaruhi emosi
pada saat hamil dan proses melahirkan
yang menimbulkan kegelisahan
dan ketakutan menjelang kelahiran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Adat Kebiasaan Melahirkan
Banyak orang
berspekulasi tentang mudah atau sulitnya aktivitas melahirkan bayi, dengan
memperbandingkan prosesnya dengan berbagai suku bangsa yang mempunyai
bermacam-macam budaya.
Penduduk
pemeluk norma-norma tradisional secara ketat, wanita-wanita primitif memiliki
toleransi lebih besar terhadap penderitaan dan rasa sakit ketika melahirkan
bayinya. Dengan demikian proses melahirkan pada wanita-wanita primitif itu
lebih mudah dan lebih cepat. Dan proses-proses reproduksi pada mereka itu
kelihatannya lebih simpel-sederhana, jika
dibandingkan dengan proses reproduksi pada wanita-wanita modern yang
mengalami “proses degeneratif” diakibatkan oleh kebudayaan yang
memberikan banyak kemudahan dan kemanjaan, yang menyebabkan tubuh dan mentalnya
kurang tertempa/terlatih untuk fungsi reproduksi atau melahirkan anak bayinya.
Banyak peneliti
menyatakan, bahwa otot-otot panggul wanita-wanita primitif itu lebih efisien
dari pada otot panggul wanita modern yang serba “manja” sebab wanita-wanita
dengan kebudayaan primitif itu hidupnya lebih aktif dan kerjanya jauh lebih
berat guna menghadapi tantangan alam, jika dibandingkan dengan wanita modern
yang hidup dalam kebudayaan tinggi dengan macam-macam komfort dan fasilitas.
Kerja berat dan kehidupan aktif jelas memperkuat otot-otot panggulnya, sehingga
memudahkan proses kelahirannya. Sedang kebudayaan modern yang tinggi sekarang
ini menyebabkan timbulnya pengaruh yang sangat melemahkan dan inhibitif
terhadap otot-otot panggul juga terhadap aktifitas melahirkan anak.
Misalnya, proses
kelahiran pada wanita-wanita daerah Tenggger di pegunungan bromo jarang
berlangsung sangat lama. Biasanya berproses sekitar satu atau dua jam saja.
Pada beberapa suku-suku primitif di tanah batak daerah kalimantan (suku dayak),
Kubu (daerah sumatra selatan) dan di irian jaya serta suku-suku primitif di
benua Australia, proses kelahiran itu biasanya berlangsung beberapa menit saja.
Ibu yang baru melahirkan itu segera memandikan tubuhnya sendiri dan bayi yang
baru dilahirkannya di sungai yang paling dekat, lalu kembali pada tugas
pekerjaanya yang terpotong atau terganggu oleh aktifitas melahirkannya tadi.
Seolah-olah tidak ada suatu peristiwa penting yang terjadi pada dirinya.
Jika seorang
wanita suku primitif yang tengah hamil itu tiba-tiba merasakan tanda-tanda mau
melahirkan, suatu saat ia akan melakukan perjalanan jauh maka ia berhenti
sebentar untuk menolong kelahiran bayi dan diri sendiri, lalu meneruskan lagi
perjalanannya sampai ia tiba di tempat yang ingin ditujunya.
Biasanya proses
melahirkan itu banyak dipengaruhi oleh proses identifikasi wanita yang
bersangkutan dengan ibunya. Jika ibunya mudah melahirkan anak-anaknya maka pada
umumnya anak-anak gadisnya kelak juga mudah melahirkan bayinya. Dengan demikian
pengaruh-pengaruh psikologis ibu ikut memainkan peranan dalam fungsi reproduksi
anak perempuannya. Dan sebaliknya jika ibunya banyak mengalami kesulitan
sewaktu melahirkan anaknya maka anak gadisnya juuga mengembangkan mekanisme
sulit melahirkan bayinya. Maka proses identifikasi itu tampaknya menyebabkan
wanita yang bersangkutan menyerah mengikuti pola melahirkan bayi yang
dikembangkan oleh ibunya.
Fakta
menunjukkan bahwa baik dikalangan wanita yang berkebudayaan primitif maupun
dikalangan wanita-wanita modern di kota-kota besar, sering kali berlangsung
peristiwa sebagai berikut : para wanita tersebut ada kalanya dihadapkan pada
gangguan-gangguan yang cukup serius dan macam-macam kesulitan sewaktu mereka
melahirkan bayinya. Kesulitan tersebut kadang kala mengakibatkan wanita-wanita
tadi menjadi invalid atau meninggal dunia. Proses kelahiran yang sulit inilah
yang mendorong orang untuk mengembangkan ilmu kebidanan dan kedokteran, guna
memperingan penderitaan para ibu yang tengah melahirkan bayinya.
2.2 Emosi pada Saat Hamil dan
Proses Melahirkan
Sepintas lalu
telah kita singgung beberapa analogi di antara proses kelahiran pada wanita
primitive dan wanita modern. Orang mendapatkan kesan, bahwa sekalipun kini
terdapat banyak kemajuan di bidang kebidanan dan kedokteran untuk meringankan
proses partus, namun kehidupan psikis wanita yang tengah melahirkan bayinya itu
sejak zaman purba hingga masa modern sekarang masih saja banyak diliputi oleh
macam-macam ketakutan dan ketakhayulan.
Memang
benar, bahwa pada zaman mutakhir ini kepercayaan pada kekuatan-kekuatan gaib
selama proses reproduksi sudah sangat berkurang. Sebab secara biologis,
anatomis dan fsikologis, kesulitan-kesulitan pada peristiwa partus bisa
dijelaskan dengan alasan-alasan patologis atau sebab abnormalitas
(keluar-kebisaan). Namun dalam abad ilmiah dengan semua kemajuan ilmu
pengetahuan dan filsafat-filsafat materialistis ini, bentuk kuntilanak dan
setan demon jahat yang membarengi kelahiran bayi kemudian tampil dalam bentuk
baru, yaitu berupa :
Kecemasan dan ketakutan
pada dosa-dosa atau kesalahan-kesalahan sendiri.
Oleh rasa berdosa ini wanita yang bersangkutan merasa amat takut kalau-kalau
nantinya ia melahirkan bayi yang cacad jasmaniah dan lahiriahnya.
Kita bisa
memahami, bahwa lancar atau tidaknya proses kelahiran itu banyak bergantung
pada kondisi biologis, khususnya kondisi wanita yang bersangkutan. Namun kita
juga mengerti bahwa hampir tidak ada tingkah laku manusia (terutama yang
disadari) dan proses biologisnya yang tidak dipengaruhi oleh proses psikis.
Maka dapat dimengerti, bahwa membesarnya janin dalam kandungan itu
mengakibatkan calon ibu yang bersangkutan
mudah capai, tidak nyaman badan, tidak bisa tidur enak, sering
mendapatkan kesulitan dalam bernafas, dan macam-macam beban jasmaniah lain
lainnya di waktu kehamilannya.
Semua pengalaman tersebut di atas pasti
mengakibatkan timbulnya rasa rasa tegang,
ketakutan, kecemasan, konflik-konflik batin dan material psikis lainnya.
Lagi pula semua keresahan hati serta
konflik-konflik batin yang lama-lama, kini menjadi akut dan intensif kembali
dengan bertambahnya beban jasmaniah selama mengandung; lebih-lebih pada saat
mendekati kelahiran bayinya.
2.3 Faktor Somatik dan Psikis
yang Mempengaruhi Kelahiran
Setiap proses
biologis dari fungsi keibuan dan reproduksi, yaitu sejak turunnya bibit ke
dalam rahim ibu sampai saat kelahiran bayi itu senantiasa saja dipengaruhinya
(distimulir atau justru dihambat) oleh pengaruh-pengaruh psikis tertentu. Maka
ada :
Ø Interdependensi
di antara faktor-faktor somatis ( jasmaniah) dengan faktor-faktor psikis.
Ø Jadi
pada fungsi reproduksi yang sifatnya biologis itu selalu dimuati pula oleh
elemen-elemen psikis.
Dengan
demikian segenap perkembangan psikis dan pengalaman-pengalaman emosional di
masa silam dari wanita yang bersangkutan ikut berperan dalam kegiatan
mempengaruhi mudah atau sukarnya proses kelahiran bayinya.
Para psikiater
dan psikolog pada umumnya tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan
pengalaman psikis wanita yang tengah melahirkan. Juga para dokter dan bidan
hampir-hampir tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan kondisi psikis wanita
tersebut. Sebab mereka biasanya disibuktikan oleh faktor-faktor somatik. Mereka
juga terlampau tegang dan capai untuk memperhatikan kehidupan psikis wanita
partus tadi. Pada umumnya para dokter dan bidan menganggap tugas mereka telah
selesai, apabila bayinya sudah lahir dengan selamat, dan ibunya tidak
menunjukan tanda-tanda patologis atau kelainan-kelainan kondisi tubuhnya.
Biasanya para
dokter segera melakukan intervensi (pertolongan interventif sebelum kelahiran
bayi) jauh sebelum kelahiran bayi, apabila terlihat tanda-tanda kelaianan pada
kehamilan. Sebab mereka sama sekali tidak mengharapkan terjadinya proses partus
yang abnormal. Bahkan ada kalanya para dokter melakukan pembedahan (kelahiran
artificial), dan menerapkan hipnose untuk memperingan penderitaan para wanita
yang tengah melahirkan. Maka tampaknya di kelak kemudian hari akan semakin
sedikit proses biologis yang spontan alami dari kelahiran bayi, khususnya dalam
masyarakat supermodern, berkat bantuan alat-alat kebidanan paling mutakhir,
karena wanita-wanita yag bersangkutan memilih kelahiran bayinya lewat
pembedahan.
Sangat menarik
hati jika kita bisa mendapatkan wawasan tentang reaksi-reaksi psikis dari
wanita yang tengah melahirkan bayinya secara spontan. Yaitu memperhatikan:
ü Pengalaman
feminim, kebahagiaan kepedihan/kesakitan yang paling memuncak dan paling
mengesankan dalam hidupnya,
ü Terutama
pada saat kelahiran bayinya yang pertama kali.
Untuk memperoleh
sedikit pengertian tentang situasi psikologis dari kelahiran, kita harus
menjenguk sejenak fase terakhir dari masa kehamilan. Kelahiran sang bayi
senantiasa diawali dengan beberapa tanda-tanda pendahuluan. Beberapa minggu
sebelum kelahiran bayi, uterus atau rahim ibu itu menurun. Pada setiap luapan
emosi yang disebabkan oleh rangsangan kuat dari luar, akan timbul
kontraksi-kontraksi dalam kandungan yang hampir mirip dengan kontraksi mau
melahirkan. Rahim yang menurun itu mengakibatkan :
Tekanan-tekanan
yang semakin terasa berat di dalam perut, ketegangan-ketegangan batin, dan
sesak nafas ( sulit bernafas).
Bahkan bagi
wanita yang paling sehat sekalipun, kondisi somatik menjelang kelahiran bayi
ini dirasakan sangat berat dan tidak menyenangkan. Sering timbul rasa jengkel,
tidak nyaman badan, selalu kegerahan, duduk- berdiri–tidur serasa salah dan
tidak menyenangkan, tidak sabaran, cepat menjadi letih, lesu, dan identifikasi
serta harmoni antara ibu dengan janin yang dikandungnya jadi terganggu. Bayi
yang semula sangat diharapkan dan mulai dicintai secara psikologis selama
berbulan-bulan itu kini mulai dirasakan sebagai beban yang amat berat.
Penderitaan
fisik dan beban jasmaniah selama minggu-minggu terakhir masa kehamilan itu
menimbulkan banyak gangguan psikis, dan pada akhirnya merenggangkan runitas ibu anak yang
semula tunggal dan harmonis. Perubahan-perubahan
organik pada minggu-minggu
terakhir itu menimbulkan pula semakin banyaknya perasaan-perasaan tidak nyaman.
Maka beban derita fisik ini menjadi latar belakang dari impuls-impuls emosional
yang di warnai oleh ”sikap-sikap bermusuhan” terhadap bayinya. Lalu ibu
tersebut mengharapkan dengan sangat agar “endofarasit” yang dikandungnya bisa
cepat-cepat dikeluarkan dari rahimnya.
Dengan semakin
bertambah beratnya beban kandungan dan bertambah banyaknya rasa-rasa tidak
nyaman secara fisik, ego wanita yang tengah hamil itu secara psikologis jadi
semakin capai dan lesu letih lahir-batinnya. Akibatnya, relasi ibu dengan
(calon) anakny jadi terpecah, sehingga polaritas aku-kamu (aku sebagai pribadi
ibu dan kamu sebagai bayi) menjadi semakin jelas. Timbulan dualitas perasaan,
yairu:
1) Harapan-cinta-kasih;
dan
2) Impuls-impuls
bermusuhan-kebencian
Oleh sebab itu,
“musuh” yang ada dalam kandungan itu harus cepat-cepat keluar dari rahim, agar
tidak terlampau lama manjadi sumber ketidaksenangan, untuk kemudian dijadikan
“objek kesayangan”.
Maka selama
minggu-minggu terakhir kehamilan itu muncul banyak konflik antara keinginan
untuk mempertahankan janinnya cepat cepat. Pada umumnya peristiwa ini
berlangsung dalam batin/kehidupan psikis belaka. Keinginan untuk mempertahankan
janin itu merupakan ekspresi dari kepuasaan-diri yang narsistis (dan lindungi
janin) yang sudah timbul sejak permulaan masa kehamilan. Keinginan yang
narsistis ini cenderung menolak kelahiran bayi, dan ingin mempertahankan
janinnya selama mungkin; jadi terdapat
unitas total antara ibu-anak. Dan semakin ketatlah rasa-rasanya identifikasi
sang ibu dengan bayinya; sehingga ibu tersebut ingin sekali menolak kelahiran
bayinya, atau mengundurkan kelahiran bayinya, selama mungkin.
Bersamaan dengan peristiwa tadi,
disebabkan oleh :
a) Fantasi
tentang bakal-bayinya yang segera lahir sebagai objek-kasih sayang, diotambah
dengan
b) Beban
fisik oleh semakin membesarnya bayi dalam kandungan, kedua peristiwa itu menimbulkan
kecenderungan kuat untuk cepat-cepat “ melemparkan sang bayi keluar” dari
kandungan.
Jika
konflik antara dua tendensi tadi jadi ekstrim dan patologis, sehingga
kecenderungan-kecenderungan untuk membuang/mengeluarkan bayinya yang menang,
mungkin akan terjadi peristiwa kelahiran premature ( lahir sebelum waktunya).
Sebaliknya, jika:
a. Unitas
yang narsitis dari sang ibu berupa kesombongan untuk mempertahankan dan
memiliki janin yang unggul,
b. Ditambah
dengan kecemasan ibu kalau kalau bayinya nanti tidak mendapatkan jaminan
keamanan jika sudah ada diluar rahim ibunya, lagi pula
c. Ibu
tersebut merasa tidak/belum mampu memikul tanggung jawab baru sebagai ibu muda,
maka masa kehamilan itu akan jadi lebih panjang/lama. Dengan kata-kata lain,
muncullah kecenderungan yang sangat kuat untuk memperpanjang kehamilan.
Ada rasa-melekat
yang kuat terhadap status quo; dan timbul pula banyak kecemasan yang akan
berkembang menjadi disharmoni atau pecahnya unitas ibu-anak. Muncul pula
ketakutan menghadapi kaesakitan dan risiko bahaya melahirkan bayinya. Semua
peristiwa ini merupakan hambatan untuk mengakhiri masa kehamilan, dan
terjadilah perpanjangan masa kehamilan.
Selanjutnya,
disharmoni pada unitas relasi ibu anak pada minggu-minggu terakhir masa
kehamilan itu menjadi prelude dari proses pemisahan (bayinya terpisah dari
ibunya, keluar dari rahim ibu) yang permanen. Secara sadar, amat banyak wanita
yang mendambakan anak pertamanya adalah laki-laki. Sebab banyak sekali
tersembunyi dalam dambaan tersebut keinginan untuk “ lahir kembali sebagai
laki-laki”, sebagai proses penyempurnaan dirinya. Sebab laki-laki adalah lambang dari hidup serta
keperkasaan. Juga sang ayah dan kakek biasanya mengharapkan, agar anak dan cucu
pertama adalah laki-laki, sebagai lambang
dari :
-
Kelahiran kembali diri
mereka
-
Dan sebagai tanda
keabadian kepriaannya.
Banyak pula
wanita yang mengikuti pola harapan semacam ini, sebagai tanda cinta-kasihnya
terhadap suami. Motivasi utama yang terselip di dalamnya adalah penghargaan
yang dikaitkan pada hari-hari mendatang; yang pada diri anak lelakinya-lah
wanita tersebut mendambakan hadirnya seorang pria yang bisa mengasihi dan melindungi
dirinya, terutama jika ia sudah menjadi tua renta.
Berbareng dengan
dambaan anak lelaki sebagai anak pertama, sering pula dambaan tersebut disertai
keinginan untuk memperoleh anak perempuan yang cantik jelita, dan melebihi
segala kualitas sendiri ( melebihi ibunya). Agak aneh tampaknya, bahwa wanita
hamil itu sering mimpi melahirkan anak laki-laki yang jelek rupanya. Sedang
jika yang diharapkan lahir anak perempuan, maka anak tersebut hendaknya
berwajah cantik dan gemilang.
Di sini
tampaknya terdapat relasi yang ambivalen terhadap suaminya, yang mengandung
unsure perasaan-perasaan majemuk, yaitu : “ inilah anakmu yang ku-lahirkan. Dia
gagah kokoh perkasa, namun sama jeleknya dengan wajahmu”. Sebab jauh dibalik
ketidaksadarannya, setiap wanita itu mengharapkan agar wajah suaminya itu
“tampak” tampan bagi isterinya saja, dan didoakan “tampak buruk” di mata wanita
lain. Dengan demikian tidak terdapat resiko suaminya akan direbut oleh wanita
lain. Sedang semua mimpi tentang anak perempuan yang akan dilahirkan, pastilah
berwajah cantik, persis harapannya sendiri mengenai wajah pribadi ibu itu
sendiri dan wajah anak perempuan yang bakal dilahirkan.
Mimpi-mimpi
tentang bayi yang akan lahir itu tidak selamanya indah wajahnya dan bernada
optimistis. Sebab ada kalanya ibu hamil tersebut mimpi melahirkan seekor
monster, anak yang cacad, anak idiot atau pincang. Sehingga mimpi tersebut
menimbulkan banyak ketakutan dan kecemasan, yang semakin jadi. Memuncak pada
minggu terakhir masa kehamilan. Biasanya setiap wanita-wanita yang pernah
melakukan abortus dengan sengaja atau pernah mengalami keguguran - dalam mana
ia merasa bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa keguguran tersebut - ,
sering dihinggapi oleh mimpi-mimpi yang menakutkan itu.
Ada kalanya
wanita-wanita tersebut mimpi ditarik oleh dua kekuatan atau dua pribadi yang
bertolak belakang arah tujuannya, atau diancam oleh dua macam bahaya secara
simultan. Sehingga mimpi-mimpi buruk itu sangat menggangguketenangan batinnya.
Namun di antara semua muimpi buruk tersebut toh senantiasa terselip
harapan-kegembiraan dan antisipasi kasih sayang pada bayinya yang bakal lahir.
2.4 Kegelisahan dan Ketakutan
Menjelang Kelahiran
Pada setiap wanita, baik yang bahagia
maupun yang tidak bahagia, apabila dirinya jadi hamil pasti akan dihinggapi
campuran perasaan, yaitu rasa kuat dan berani menanggung segala cobaan, dan
rasa-rasa lemah hati, takut, ngeri; rasa cinta dan benci; keragu-raguan dan
kepastian; kegelisahan dan rasa tenang bahagia; harapan penuh kabahagiaan
dan kecemasan, yang semuanya menjadi semakin intensif pada saat mendekati masa
kelahiran bayinya.
Sebab-sebab semua kegelisahan dan
ketakutan antara lain adalah sebagai berikut:
a. Takut mati
b. Trauma
kelahiran
c. Perasaan
bersalah/berdosa
d. Ketakutan riil
Takut mati
Sekalipun peristiwa kelahiran itu
adalah satu fenomena fisiologis yang normal, namun hal tersebut tidak kalis
dari resiko dan bahaya kematian. Bahkan pada proses yang normal sekalipun
senantiasa disertai perdarahan dan kesakitan hebat peristiwa inilah yang
menimbulkan ketakutan-ketakutan khususnya takut mati baik kematian dirinya
sendiri maupun anak bayi yang akan dilahirkan. Inilah penyabab pertama.
Pada saat sekarang perasaan takut mati
itu tidak perlu ada atau tidak perlu dilebih-lebihkan, berkat adanya metode-metode
yang efektif untuk mengatasi macam-macam bahaya pada proses kelahiran. Dan
berkat adanya kemajuan ilmu kebidanan serta pembedahan untuk mengatasi
anormali-anormali anatomi anatomis.
Trauma
kelahiran
Berkaitan dengan perasaan takut mati
yang ada pada wanita pada saat melahirkan bayinya, adapula ketakutan lahir
(takut dilahirkan di dunia ini)pada anak bayi, yang kita kenal sebagai “trauma
kelahiran”. Trauma kelahiran ini berupa ketakutan kan berpisahnya bayi dari
rahim ibunya. Yaitu merupakan ketakutan “hipotesis” untuk dilahirkan di dunia,
dan takut terpisah dari ibunya.
Ketakutan berpisah ini ada kalanya
menghinggapi seorang ibu yang merasa amat takut kalau-kalau bayinya bayinya
akan terpisah dengan dirinya. Seolah-olah ibu tersebut menjadi tidak mampu
menjamin keselamatan bayinya. Trauma genetal tadi tampak dalam bentuk ketakutan
untuk melahirkan bayinya.
Analog dengan ketakutan semacam ini
adalah bentuk gangguan seksual yang neurotis sifatnya, yaitu; ketakutan
kehilangan spermanya pada diri laki-laki; atau berpisah dengan spermanya
sendiri, karena ia terlalu “kikir” da selalu mau berhemat, yang disebut
dengan ejaculation tarda. Kaum pria yang menderita ejaculation tarda
pada umumnya dihinggapi ketakutan-ketakutan obsesif untuk membuang atau
menghamburan spermanya dimanapun.
Perasaan
bersalah/berdoa
Sebab lain yang menimbulkan ketakutan
akan kematian pada proses melahirkan bayinya ialah:
Perasaan bersalah atau berdosa terhadap
ibunya.
Pada setiap fase perkembangan menuju
pada feminitas sejati, yaitu sejak masa kanak-kanak, masa gadis cilik, periode
pubertas, sampai pada usia adolesensi, selau saja gadis yang bersangkutan
diliputi emosi-emosi cinta-kasih pada ibu yang kadangkala juga diikuti rasa
kebencian, iri hati dan dendam; bahkan juga disertai keinginan untuk membunuh
adik-adik atau saudara sekandungnya yang dinanggap sebagi saingannya. Peristiwa
“ingin membunuh” itu kelak kemudian hari diubah menjadi hasrat untuk
memusnahkan janin atau bayinya sendiri, sehingga berlangsung keguguran
kandungannya.
Dalam semua aktivitas reproduksinya,
wanita itu bsnysk melakukan identifikasi terhadap ibunya. Jika identifikasi ini
menjadi salah bentuk, dan wanita tadi banyak mengembangkan mekanisme rasa-rasa
bersalah dan rasa berdosa terhadap ibunya, maka peristiwa tadi membuat dirinya
menjadi tidak mampu berfungsi sebagai ibu yang bahagia; sebab selalu saja ia
dibebani atau dikejar-kejar oleh rasa berdosa.
Perasaan berdosa terhadap ibu ini erat
hubungannya dengan ketakutan akan mati pada saat wanita tersebut melahirkan
bayinya. Oleh karena itu kita jumpai adat kebiasaan sejak zaman dahulu sampai
masa sekarang berupa:
ü Orang lebih
suka dan merasa lebih mantap kalu ibunya (nenek sang bayi) menunggui dikala ia
melahirkan bayinya.
ü Maka menjadi
sangat pentinglah kehadiran ibu tersebut pada saat anaknya melahirkan oroknya.
Ketakutan riil
Pada saat wanita hamil, ketkutan untuk
melahirkan bayinya itu saat bisa diperkuat oleh sebab-sebab konkret lainya.
Misalnya:
a) Takut
kalau-kalau bayinya akan lahir cacad, atau lahir dalam kondisi yang patologis;
b) Takut kalau
bayinya akan bernasib buruk disebabkan oleh dosa-dosa ibu itu sendiri di masa
silam.
c) Takut kalau
beban hidupnya akan hidupnya akan menjadi semakin berat oleh lahirnya sang bayi
d) Muncunya elemen
ketakutan yang sangat mendalam dan tidak disadari, kalau ia akan dipisahkan
dari bayinya;
e) Takut
kehilangan bayinya yang sering muncul sejak masa kehamilan sampai waktu
melahirkan bayinya. Ketakutan ini bisa diperkuat oleh rasa-rasa berdoa atau
bersalah.
Ketakutan mati yang sangat
mendalam di kala melahirkan bayinya itu disebut ketakutan primer; biasanya
diberangi dengan kekuatan-kekuatan superfisial (buatan, dibuat-buat) lainnya
yang berkaitan dengan kesulitan hidup, disebut sebagai kekuatan sekunder.
Kekutan primer dari wanita hamil itu
bisa menjadi semakin intensif, jika ibunya, suaminya dan semua orang yang bersimpati
pada dirinya ikut-ikutan menjadi panik dan resah memikirkan nasib keadaaanya.
Oleh karena itu, sikap mengartinya, karena bisa membrikan dan melindungi dari
suami dan ibunya itu sangat besar artinya, karena bisa memberikan support moril
pada setiap konflik batin, keresahan hati dan ketakuan, baik yang riil maupun
yang iriil sifatnya.
Segala macam ketakutan tadi menyebabkan timbulnya
rasa-rasa pesimistis dan beriklim “hawa kematian”. Namun dibalik semua
ketakutan tersebut, selalu saja terselip harapan-harapan yang
menyenangkan untuk bisa dengan segera dengan menimmang dan membelai bayi
kesayangan yang bakal lahir. Harapan ini menimbulkan rasa-rasa optimistis, dan
beriklim “hawa kehidupan”, spirit dan gairah hidup. Perasaan positif ini
biasanya dilandasi oleh pengetahuan intelektual, bahwa sebenarnya memang tidak
ada bahaya-bahaya riil pada masa kehamilan dan saat melahirkan bayinya. Dan
bahwa dirinya pasti selamat hidup (survive), sekalipun melalui banyak kesakitan
dan dera-derita lahir dan batin. Karena itu pada calon ibu-ibu muda itu perlu
ditempakan
Ø Kesiapan mental
menghadapai tugas menjadi hamil dan melahirkan bayinya
Ø Tanpa
konflik-konflik batin yang serius dan rasa ketakutan
Banyak wanita dan anak gadis pada usia
jauh sebelum saat kedewasaannya dihinggapi rasa takut mati, kalau nantinya dia
melahirkan bayi. Akibatnya, fungsi keibuannya menjadi korban dari
ketakutan-ketakutan yang tidak disadari ini (yaitu akibat dari takut mati
sewaktu melahirka itu). Mereka kemudian menghidari perkawinan atau menghindari
mempunyai anak.
2.5 Reaksi
Wanita Hiper Maskulin dan Reaksi Wanita Total Pasif dalam Menghadapi Kelahiran
Wanita-wanita
yang sangat aktif dan hipermaskulin bersifat kejantan-jantanan ekstrim, sejak
mula pertama kehamilannya senantiasa diombang-ambingkan di antara keinginan
instrinktif untuk memiliki seorang anak melawan rasa keengganan untuk
melahirkan anak sendiri, karena anak tersebut diduga bisa menghambat kariere
dan kebahagiannya. Kehidupan emosionalnya senantiasa goyah dilanda kerinduan-cinta
pada seorang anak kontra kebencian akan mendapatkan keturunan. Kedua gejala
tersebut bisa memuncak, lalu meletus jadi fenomena neurotis yang obsesif.
Sebagai akibatnya, wanita tersebut tidak mempunyai kepercayaan diri, dan sering
dikacau oleh gangguan-gangguan saraf, antara lain berupa :
Migraine
(kepilau) atau sakit kepala yang hebat pada satu sisi kepalanya. Juga muncul
banyak konflik dalam batinnya.
Apabila wanita
yang sedemikian ini pada suatu saat bebar0benar menjadi hamil, maka konflik-konflik
batinnya menjadi semakin akut. Kahamilannya dirasakan sebagau suatu “ peristiwa
mimpi”, atau dirasakan sebagai pengalaman somnabulistis., seperti mimpi
berjalan. Dan selalu saja ia dikejar-kejar ole h emosi-emosi yang antagonistis.
Dia juga dimuati
oleh macam-macam kecemasan. Yaitu: cemas kalau sang bayi akan menghambat
profesinya, bisa mematikan segala bakat dan kemampuan ibunya, kecemasan merasa
kalau-kalau ia tidak mampu memelihara bayinya. Cemas kalau-kalau ia tidak bisa
membagi waktunya untuk menjamin kelancaran rumah tangga, mengasuh anak,, dan
mencapai karier dalam profesinya dan lain-lain. Jelaslah, bahwa sumber dari
konflik-konflik batin tadi adalah :
ü Bertandingnya
konflik-konflik yang lebih fundamental. Yaitu antara dorongan maskulinitas melawan
dorongan feminitasnya
ü Dorongan
maskulinitas lebih memberatkan prestasi, kariere dan jabatan, sedang dorongan
feminitas secara naluriah menginginkan seorang anak sendiri.
Selanjutnya,
pada saat kelahiran bayinya, wanita bersifat hiper-maskulin ini akan berusaha
mengatasi ketakutan dan kesakitan jasmaniahnya dengan usaha sendiri, dan
menganggap kelahiran bayinya sebagai suatu “ prestasi pribadi”. Akan tetapioleh
karena usaha tersebut sifatnya sangat maskulin-agresif, maka kegiatan tersebut
justru mengacaukan kelahiran yang normal, dan semakin mempersulit kelahiran
bayinya dengan kemampuan sendiri. Lalu dia bersikap hiper-pasif, dan membiarkan
para dokter serta bidan melahirkan bayinya melalui upaya pembedahan Caesar.
Kebalikan yang
ekstrim dari wanita hiperaktif ialah waktu yang mengalami proses kelahiran
bayinya secara total-pasif. Selama kehamilannya, wanita yang hiper-pasif ini
sama sekali tidak menyadari keadaan dirinya, dan tidak merasa bertanggung jawab
pada segala sesuatu yang akan terjadi pada dirinya. Ia Cuma tahu bahwa
“perutnya” secara kebetulan ketempatan “ satu buah janin”, yang kelak akan
lahir dari dirinya. Selanjutnya, alam, Tuhan, para bidan, dan para dokterlah
yang harus “ bertanggung jawab” akan kelahiran
bayinya kelak,misalnya dengan pembelahan Caesar
Wanita tersebut
tidak tahu bagaimana seharusnya ia bersikap dan bertingkah laku. Ia mersa tidak
perlu mengetahui secara mendetail keadaan dirinya yang tengah hamil, karena hal
ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna, atau sebagai urusan ibunya
atau suaminya, dan bisa mengganggu ketenangan bathinnya.secara membuta ia
mengikuti saja semua sugesti dan instruksi orang lain. Dan bagaikan anak-anak
kecil yang masih senang bermain-main, ia memusatkan segenap minatnya pada :
Upaya
menghilangkan semua bentuk ketakutan dan bentuk kesakitan jasmaniahnya.
Tingkah laku
wanita yang total-pasif selama kehamilannya sangat khas, yaitu:
1) Selalu
bergantung dan menempel pada ibunya atau substitute/pengganti ibunya.
2) Ia
menyuruh suaminya sebanyak mungkinmelakukan semua tugas-tugasnya
3) Pada
umumnya semua tingkah lakunya sangat infantile, kebayi-bayian, kekanak-kanakan,
lincah-gembira, seakan-akan dunia ini penuh dengan nyanyian ria dan mainan
belaka.
4) Tetap
saja ia bersikap sangat pasif
5) Maka
di tengah kelincahan-kegembiraan hati dan kondidi perutnya yang semakin
membesar, menampakan dirinya benar-benarmenyerupai seorang gadis cilikyang
tengah asyik bermain-main dengan bonekanya.
6) Jika
kehamilannya sudah menjadi semakintua, wanita tersebut biasanya jadi sangat
tidak sabaran, dan menjadi semakin pasif. Ia banyak mengeluh, dan dan selalu
saja mendesak-desak lingkungannya agar kelahiran bayinya bisa dipercepat.
7) Wanita
yang pasif dan infantile ini mengalami kehamilan dan kelahiran bayinya bagaikan
satu perisriwa magis yang menakjubkan
8) Otomatis,ia
menyatakan kepada dunia luar adanya “sesuatu benda” yang
di-injeksikan/dimasukkan ke dalam rahimnya melalui coitus, secara tidak sadar
atau setengah sadar.
9) Sama
sekali is tidak merasa bertanggung jawab akan mati atau hidupnya “benda yang
dititipkan dalam rahimnya”itu.
10) Semua
sikap tidak senang dan sikap bermusuh terhadapo ibunya sendiri (jika hal ini
ada), menjdai lenyap hilang sejak masa kehamilannya. Sebab, sejak saat
kehamilannya wanita tersebut ingin “ menyerahkan” semua tanggungjawab sendiri,
dan “ menyerahkan anaknya yang bakal lahir’ kepada ibunya”. Yaitu anak yang
dianggap sebagai “endo-parasit”, dan sebaiknya kelak diserahkan saja pada
pertanggungjawaban ibunya.
11) Oleh
sikap sedemikian ini, pada umumnya, ia sanat mengharapkan agar ibunya bersedia
terus menerus menunggui dirinya di saat ia hamil dan melahirkan bayinya, untuk
memberikan asistensi pada kelahiran janinnya
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Semua perempuan di dunia ini tumbuh dengan pengetahuan
bahwa melahirkan itu sangat menyakitkan.
Sayangnya, banyak perempuan yang merasa sakit lebih parah lebih dari yang seharusnya karena terpengaruh oleh rasa panik dan
stres. Hal ini lazim dikenal sebagai konsep rasa takut-tegang-nyeri (fear-tension-pain
concept), yakni rasa
takut yang memicu ketegangan/kepanikan yang membuat otot-otot kaku, dan
akhirnya menyebabkan rasa sakit.. Pengaruh-pengaruh psikologis ibu ikut
memainkan peranan dalam fungsi reproduksi anak perempuannya misalnya biasanya proses melahirkan itu banyak
dipengaruhi oleh proses identifikasi wanita yang bersangkutan dengan ibunya.
Jika ibunya mudah melahirkan anak-anaknya maka pada umumnya anak-anak gadisnya
kelak juga mudah melahirkan bayinya.. Banyak orang berspekulasi tentang mudah atau
sulitnya aktivitas melahirkan bayi, dengan memperbandingkan prosesnya dengan
berbagai suku bangsa yang mempunyai bermacam-macam budaya. Proses kelahiran
yang sulit inilah yang mendorong orang untuk mengembangkan ilmu kebidanan dan
kedokteran, guna memperingan penderitaan para ibu yang tengah melahirkan
bayinya.
Kartono, Kartini. 1977. Psikologi Wanita 2. Bandung: CV. Mandar
Maju.
0 komentar :
Posting Komentar