Masa remaja
adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum
mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi
tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.
Bagi
remaja perempuan, rentang usia 11-18 tahun adalah masa ketika mereka mulai
mengenal tubuh dan aspek-aspek penting mengenai perempuan, seperti keperawanan,
kehamilan, dan kesehatan.
Masa
remaja sangat rentan dengan berbagai persoalan kesehatan repoduksi. Kesehatan
wanita di masa dewasa dan tua tidak terlepas dari kondisi sebelumnya, yaitu
masa remaja, dan anak-anak. Pada masa anak-anak (6-12 tahun), pendidikan seks
sudah harus diberikan sesuai dengan kondisi dan kadar kemampuan.
Masa
remaja (12-18 tahun), merupakan periode yang sangat penting dan berpengaruh
terhadap perkembangan pola tingkah laku di masa tua. Yakni, masa sejak puber
sampai saat di mana anak telah mencapai kedewasaan, baik psikologis, seksual,
maupun fisiologis.
Remaja
pada awal perkembangan (12 -13 tahun), terdapat perbedaan pertumbuhan
fisiologis dan perubahan sosial yang berbeda dengan ketika anak-anak. Dalam
dirinya terjadi perubahan alat reproduksi dan pertumbuhan tubuh secara
keseluruhan. Masa remaja merupakan masa transisi, baik dari sudut biologis,
psikologis, sosial, maupun ekonomis, penuh dengan gejolak dan guncangan.
Pada
masa ini timbul minat kepada lawan jenis dan secara biologis alat kelaminnya
sudah produktif. Remaja menganggap dirinya sudah dewasa dan ia perlu kebebasan
yang lebih. Dari sinilah muncul perbedaan konflik antara orang tua dan remaja.
Sementara
itu, dalam perkembangannya, pribadi dari para remaja mengalami banyak masalah
dalam penyesuaian diri bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada saat ini
peran keluarga dan guru sangat dibutuhkan untuk membimbing para remaja ke arah
yang benar.
Masa
remaja merupakan masa pertumbuhan menjadi seorang wanita yang dewasa, dan
merupakan masa penting dan menentukan. Pada masa ini peningkatan status
kesehatan dan pertumbuhan yang memadai dapat membantu menopang kebutuhan
aktivitas yang membutuhkan banyak energi pada masa dewasa kelak, misalnya
pekerjaan manual yang berat atau perawatan anak.
Seksualitas
dan kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik
dan psikis seorang remaja, termasuk keadaan terbebas dari kehamilan yang tak
dikehendaki, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual (PMS) ter-masuk
HIV/AIDS, serta semua bentuk kekerasan dan pemaksaan seksual (FCI, 2000).
Remaja
perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang benar
mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada disekitarnya. Dengan
informasi yang benar, diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang
bertanggung jawab mengenai proses reproduksi.
Namun, pengaruh
informasi global yang semakin mudah diakses justru akan mempercepat usia awal
seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang
berisiko tinggi, karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang
akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses
terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.
Kadangkala
pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja justru adalah akibat ketidak-harmonisan
hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja tentang
fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta
frekuensi tindak kekerasan anak.
Mereka
cenderung merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai
mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah
timbul rasa takut di kalangan orangtua dan guru, bahwa pendidikan yang
menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan fungsinya justru malah
mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah.
Kondisi
lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan
pendidikan kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah
tempat tinggal juga berpengaruh.
Remaja yang
tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan tidak mendapatkan perlindungan dan
kasih sayang orang tua, memiliki lebih banyak lagi faktor-faktor yang
berkontribusi, seperti: rasa kekuatiran dan ketakutan yang terus menerus,
paparan ancaman sesama remaja jalanan, pemerasan, penganiayaan serta tindak
kekerasan lainnya, pelecehan seksual dan perkosaan.
Kebutuhan
dan jenis risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang
berbeda dari anak-anak ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi
yang harus dihadapi remaja antara lain;
·
Kehamilan
·
Aborsi
·
Penyakit menular seksual (PMS)
·
Kekerasan seksual
·
Masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan
pelayanan kesehatan.
Risiko ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
saling berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual
dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.
Masih banyak
remaja putri yang kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan
menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki
kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan
yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan
pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan kehamilan serta mencegah
kehamilan yang tidak dikehendaki (FCI, 2000). Bahkan pada remaja putri di
pedesaan, haid pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan
mereka pada risiko kehamilan dan persalinan dini.
Sebagai
langkah awal pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan
reproduksi harus ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE) yang tegas tentang penyebab dan konsekuensi perilaku seksual, apa yang
harus dilakukan dan dilengkapi dengan informasi mengenai saranan pelayanan yang
bersedia menolong seandainya telah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau
tertular ISR/PMS. Hingga saat ini, informasi tentang kesehatan reproduksi
disebarluaskan dengan pesan-pesan yang samar dan tidak fokus, terutama bila
mengarah pada perilaku seksual.
Pendidikan
tentang kesehatan reproduksi dapat diberikan melalui berbagai media,
cara/strategi penyampaian dengan berbagai strategi model pembelajaran yang
komuniatif.
Informasi
dan persoalan seks seharusnya diperoleh dan disampaikan oleh dan atau kepada
orang tua, guru/ustadz, atau pegawai kesehatan. Perolehan informasi yang kurang
tepat akan berdampak pada minimnya pengetahuan remaja. Dari gambaran tersebut
terlihat bahwa sumber informasi yang paling bertanggung jawab yaitu orang tua
dan guru justru terkecil.
0 komentar :
Posting Komentar